Iman, menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah bisa bertambah dan bisa berkurang. Di antara yang menjadi faktor bertambahnya keimanan seorang muslim, ialah dengan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia.
Syaikh ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdul-Muhsin al-‘Abbâd –hafizhahullah- berkata: “Sesungguhnya mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Hadîts, dan hal-hal yang menunjukkan kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala segi merupakan gerbang ilmu paling agung yang dapat menambah keimanan”.[1]
Dalam rubrik ini, kami mengajak para pembaca untuk menyelami makna as-Salâm, yang merupakan salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia. Nama ini tercantum dalam Al-Qur`ân dan Hadîts, serta sebagaimana ucapan para ulama.
NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA AS-SALAM DALAM AL-QUR’AN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dialah Allah, tidak ada sesembahan yang haq selain Dia. Maha Raja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera (as-Salâm), Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan” [al-Hasyr/59:23]
NAMA ALLAH, AS-SALAM DALAM HADÎTS
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي الصَّلَاةِ قُلْنَا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ مِنْ عِبَادِهِ السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ وَفُلَانٍ فَقَالَ النَّبِيُّ لَا تَقُولُوا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ وَلَكِنْ قُولُوا التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
‘Abdullah (bin Mas’ud) Radhiyallahu ‘anhu Berkata : Dahulu, jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan: “As-Salâm (keselamatan) bagi Allah dari hamba-hamba-Nya, dan as-salâm atas Fulan dan si Fulan,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mengucapkan as-Salâm atas Allah, karena sesungguhnya Allah itu as-Salâm, akan tetapi ucapkanlah: ‘At-Tahiyât (ucapan selamat), ash-Shalawat (ibadah) dan ath-Thayyibât (pujian) bagi Allah. Salam (keselamatan) serta rahmat Allah, dan keberkahan-Nya atas anda, wahai Nabi. Dan salam atas kita dan hamba-hamba Allah yang shâlih’.” [HR Bukhâri].
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari shalatnya, beliau beristighfar tiga kali, dan berkata: ‘Ya Allah, Engkau adalah as-Salâm, dan dari-Mu lah keselamatan, Engkau Maha Tinggi Yang Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan’.” [HR Muslim].
MAKNA AS-SALÂM
As-Salâm, secara bahasa bermakna as-Salâmah. Yaitu selamat dari aib dan kekurangan.[2]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “As-Salâm, maknanya, yang selamat dari segala aib dan kekurangan, karena kesempurnaan dzat, sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya (Allah)” [3]
Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata: “As-Salâm, maksudnya, yang selamat dari semua kekurangan dan aib”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “As-Salâm adalah salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan isim mashdar, seperti al-Kalâm dan al-‘Athâ`, yang bermakna selamat. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih berhak untuk menyandangnya daripada selain-Nya, karena Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala ) selamat dari setiap cacat, aib, kekurangan maupun celaan. Dia Subhanahu wa Ta’ala memiliki kesempurnaan yang mutlak dari segala segi. Kesempurnaan-Nya merupakan keharusan dari Dzat-Nya. Tidaklah Dia Subhanahu wa Ta’ala kecuali Maha Sempurna.
Ada pula yang mengatakan: Yang mengucapkan salam kepada hamba-hamba-Nya di surga, berdasarkan ayat.
سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ
“(Kepada mereka dikatakan), “Salâm,” sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang” [Yâsîn/36:58].
Ada pula yang memaknai, makhluk yang selamat dari kezhaliman-Nya [4], dan inilah pendapat kebanyakan para ulama…[5]
As-Salâm, mencakup keselamatan perbuatan-perbuatan-Nya dari kesia-siaan, kezhaliman, kecurangan, dan mencakup keselamatan sifat-sifat-Nya dari penyerupaan dengan sifat-sifat makhluk, serta meliputi kesempurnaan Dzat-Nya dari setiap kekurangan dan aib, dan meliputi keselamatan nama-nama-Nya dari setiap celaan”.
Nama Allah, as-Salâm, mencakup penetapan semua kesempurnaan bagi-Nya dan peniadaan semua kekurangan dari-Nya. Ini adalah kandungan makna dari Subhnâllah wal-Hamdu lillahi” (Maha Suci Allah dan segala pujian bagi-Nya). Dan nama Allah, as-Salâm, mengandung pengesaan bagi-Nya dalam ulûhiyah (penyembahan dan pengagungan). Dan ini merupakan kandungan dari makna Lâ ilaha illallah, wallahu Akbar (tidak ada yang berhak disembah dengan haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Dia Maha Besar). Maka nama Allah, as-Salâm, mengumpulkan al-Bâqiyâtu ash-Shâlihât (semua nama Allah yang baik dan sifat-Nya yang mulia), yang dengannya Allah Azza wa Jalla dipuji.
Di antara rincian penjelasan terhadap apa yang sudah disebutkan di atas, bahwasanya Dia adalah al-Hayyu (Yang Maha Hidup), yang selamat kehidupan-Nya dari kematian, rasa ngantuk, tidur dan perubahan. Dia adalah al-Qâdir (Yang Maha Kuasa), yang selamat kekuasaan-Nya dari kelelahan, kecapekan, keberatan dan kelemahan. Dia adalah al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui), yang selamat ilmu-Nya dari ketidaktahuan terhadap sesuatu meskipun sebesar biji sawi.
Demikianlah, semua sifat-Nya berada dalam timbangan di atas. Keridhaan-Nya selamat dari kemurkaan, kelembutan-Nya selamat dari balas dendam, keinginan-Nya selamat dari kebencian, kekuasaan-Nya selamat dari kelemahan, kehendak-Nya selamat dari hal yang menyelisihinya, firman-Nya selamat dari kedustaan dan kezhaliman, bahkan Maha Sempurna kalimat-kalimat-Nya sesuai dengan keadilan dan kebenaran, dan janji-Nya selamat dari penyelisihan …” [6]
ANTARA NAMA ALLAH, AS-SALÂM DENGAN UCAPAN AS-SALÂMU ‘ALAIKUM
Makna as-Salâm dalam ucapan as-salâmu ‘alaikum, ada dua. Pertama, (semoga) barakah nama Allah as-Salâm tercurah kepada kalian. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan melontarkan salam kepada orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab. Karena as-Salâm merupakan salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, tidak boleh memintakan keberkahan bagi orang kafir dari nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Kedua, keselamatan yang dimohonkan ketika ucapan salam.
Kedua makna ini sama-sama benar. Maksudnya, barang siapa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang baik, untuk dia meminta dalam setiap permintaan dan bertawassul kepada-Nya dengan nama Allah yang sesuai dengan permintaannya. Jika hal ini sudah jelas, maka ketika seseorang meminta keselamatan (as-Salaamah) yang merupakan bagian terpenting dalam hidupnya, maka dia menyebut nama Allah “As-Salaam”.
Jadi, ucapan as-salâmu ‘alaikum mencakup nama Allah, as-Salâm, dan memohon keselamatan dari-Nya.
Apabila hal ini sudah jelas, maka terbukalah tabir hikmah (rahasia) pengucapan salam ketika seorang muslim bertemu dengan muslim lainnya, bukan dengan doa atau ucapan lain. Karena, setiap umat memiliki ucapan salam tersendiri, seperti “selamat pagi”, “semoga engkau berumur panjang”, dan lain-lain. Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan kepada kaum muslimin ucapan selamat di tengah mereka dengan ucapan ”as-salâmu’alaikum”. Ucapan ini lebih utama dari semua ucapan selamat yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Karena ungkapan as-salâmu’alaikum ini mencakup keselamatan yang menjadi tonggak kehidupan dan kebahagiaan. Ini juga merupakan inti segala sesuatu. Karena harapan manusia terbagi dua. yaitu selamat dari kejelekan dan memperoleh kebaikan. Dan selamat dari kejelekan lebih diutamakan daripada memperoleh kebaikan.
Begitu pula di surga, dikarenakan surga adalah Dârussalâm, tempat keselamatan dari segala aib, kejelekan, dan cacat, bahkan selamat dari setiap perkara yang mengurangi kenikmatan hidup. Sehingga ucapan selamat para penghuni surga adalah salâmun, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengucapkan kepada mereka ucapan selamat ”As-Salâm”. Begitu pula, para malaikat mendatangi mereka dari segala pintu dengan mengucapkan :
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
“Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu,” maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu” [ar-Ra’d/13:24)]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimaullah berkata: “As-Salâm, bermakna doa meminta keselamatan dari setiap gangguan. Jika anda mengatakan kepada seseorang “as-salâmu’alaika”, maka maksudnya, anda sedang berdoa kepada Allah untuknya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari gangguan-gangguan, kegilaan, (kejahatan) manusia, kemaksiatan dan dari penyakit hati, serta dari api neraka. Ini adalah lafazh yang umum, dan maknanya adalah doa bagi seorang muslim dengan keselamatan dari segala gangguan”.[9]
KESIMPULAN DAN FAIDAH
- Penentuan nama Allah haruslah sesuai dengan dalil dari Al-Qur`ân dan Hadiits yang shahiih, serta sesuai dengan pemahaman ulama Ahlus-Sunnah.
- Merenungi dan memahami nama Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan faktor yang utama yang dapat menambah keimanan seorang muslim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Di antara 99 asma` Allah al-Husna adalah as-Salâm. Sehingga kita wajib menetapkan hal itu.
- Dibolehkan untuk memberi nama anak dengan ‘Abdussalâm. Karena as-Salâm merupakan nama Allah. Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata : “Di antara nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah as-Salâm, dan karenanya seseorang dinamakan ‘Abdussalâm, seperti halnya (nama) ‘Abdullah”.
- As-Salâm, merupakan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kita diperintahkan untuk berdoa dengannya, sebagaimana Allah berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
“Dan bagi Allah al-Asma` al-Husna, maka berdoalah kepada Allah dengannya” [al-A’râf/7:180]
- Makna as-Salâm, ialah yang selamat (disucikan) dari segala aib, cacat dan sifat kekurangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Suci dari setiap hal yang mengurangi sifat kesempurnaan-Nya, dan dari penyerupaan makhluk terhadap-Nya, serta dari sekutu yang menandingi-Nya dalam segala segi.[11]
- Seorang muslim wajib untuk meminta keselamatan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, keselamatan hanyalah bersumber dari-Nya [12]. Dan diharamkan baginya meminta keselamatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik kepada malaikat yang dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, nabi yang diutus, wali atau kiai atau habib atau tuan guru, atau makhluk lainnya.
- Dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekedar bacaan di bibir. Dzikir haruslah direnungkan maknanya, dan konsekwensinya direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang memahami nama Allah, as-Salâm, dan menjadikannya sebagai dzikir serta doa seperti yang telah diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia akan selalu mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ulûhiyah (ibadah), rububiyah, serta nama dan sifat-Nya dari sekutu-sekutu, maupun dari hal yang tidak layak bagi-Nya. Dan inilah jalan para nabi dan rasul, sebagaimana Allah berfirman:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Mahasuci Rabbmu, Rabb Yang Mahaperkasa dari sifat yang mereka katakan. Dan selamat sejahtera bagi para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam” [ash-Shâffât/37:180-182].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat di atas: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menyimpang dari ajaran para rasul, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengucapkan selamat kepada para rasul, dikarenakan selamatnya ucapan mereka dari kekurangan dan aib …, maka Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah tidak menyimpang dari ajaran para rasul, karena ia adalah shirathal mustaqim”.[13]
- Betapa indah ajaran Islam, dan alangkah mulia petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengajarkan ucapan salam. Sebuah ucapan yang merupakan doa keselamatan dari seorang muslim kepada saudaranya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُم
“Tidaklah kalian bisa masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidaklah beriman hingga kalian saling mencintai. Tidakkah kalian ingin aku tunjukkan kepada sesuatu? Jika kalian melaksanakannya, maka kalian saling mencintai. Yaitu tebarkan salam di antara kalian”. [HR Muslim]
- As-Salâm, adalah as-Salâmah (keselamatan) yang merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Semoga Allah senantiasa memberikan keselamatan kepada kita di dunia dan di akhirat.
_______
Footnote
[1]. Asbâb Ziyâdati al-Imân wa Nuqshânihi, hlm. 24.
[2]. Badâi`ul-Fawâid, Imam Ibnul-Qayyim (2/133, 137, 138), an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts wal-Atsâr, Ibnu Atsir (hlm. 441), al-Qamûs al-Muhîth, Fairuz Âbâdi (hlm. 1011), Mukhtâr ash-Shihâh, ar-Râzi (hlm. 311), al-Mu’jam al-Wasîth (hlm. 446).
[3]. Ketiga ucapan di atas juga dibawakan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, 18/42.
[4]. Fathul-Qadîr, Imam asy-Syaukâni, 5/276.
[5]. Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, Imam Ibnu Katsîr, 4/439.
[6]. Dinukil dari al-Mausû’ah al-Asmâ` wa ash-Shifât, ‘Adil bin Sa’ad dan ‘Amru bin Mahrûs (hlm. 109-110), dan Badâi’ul Fawâid (2/135).
[7]. Lihat Al-Qur`ân surat Ibrâhîm/14 ayat 23, al-Ahzâb/33 ayat 44, dan az-Zumar/39 ayat 73.
[8]. Lihat Badâi’ul Fawâid (hlm. 140-145), Fathul-Majîd Syarhu Kitâb at-Tauhîd, Bab: Lâ Yuqâlu as-Salâm ‘alallahi, Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan Alu Asy-Syaikh (hlm. 543-546).
[9]. Syarah Riyadush Shâlihin, kitab As-Salâm, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn, 3/5.
[10]. Tafsîr Gharibul-Qur`ân, Ibnu Qutaibah, hlm. 6.
[11]. Fiqh al-Ad’iyah wa al-Adzkâr, Syaikh Abdurrazzaq bin ‘Abdul-Muhsin al-‘Abbad, 3/165.
[12]. Ibid.
[13]. Al-‘Aqîdah al-Wâsithiyah, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Syarh: Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, hlm. 113-122.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M]